Friday, 12 April 2013

Apa yang Tersisa ? Part-2

Cerpen ini merupakan lanjutan dari cerpen Apa yang Tersisa sebelumnya. Oke langsung saja :D



2 Bulan kemudian . . .

Prasetyo tampak gagah dengan jas hitam di tubuhnya. Para siswa berjajar rapi menunggu namanya dipanggil untuk menerima ijazah mereka. Iringan musik klasik membuat suasana begitu hikmat. Aula sekolah yang setiap hari biasa saja kini tampak begitu mewah. Dekorasi-dekorasi khas jawa dan proyeksi digital yang menampilakan kegiatan para wisudawan selama tiga tahun membuat suasana begitu hidup. Suasana modern yang masih tradisional. Kini tiba saatnya jamuan makan. Para undangan dan wisudawan menikmati lezatnya hidangan ayam bakar dan nasi goreng. Tidak hanya itu, ada juga gurami bakar, tumis kangkung, sambal goreng, sayur asam membuat perut yang tak lapar sekalipun jadi ingin makan. Minuman-minuman yang tampak begitu segar juga tersaji di meja yang berhadapan dengan meja makanan. Ada sinom, es cincau, es godir, kolak dan tentu saja air putih membuat lengkap sudah jamuan dalam acara ini. Di tengah hiruk pikuk para undangan dan wisudawan yang tengah menikmati jamuan, Intan tampak berjalan perlahan mendekati Prasetyo yang duduk di salah satu kursi dekat panggung. Kebaya putih dan rok batik yang dikenakannya menambah anggun penampilannya. Melihat Intan mendekat, Prasetyo mempersilahkan pujaan hatinya itu untuk duduk. Intan tersenyum memanja dan duduk di sebelah Prasetyo. Bersamaan dengan duduknya Intan, sebuah dentuman keras terdengar. Seisi ruangan bergetar hebat hingga lampu gantung besar di aula itu terjatuh dan hancur berkeping-keping. Untung saja lampu itu hanya menindih kursi-kursi kosong. Keadaan yang sebelumnya meriah pebuh haru kini berubah menjadi kepanikan. Para undangan dan wisudawan berhamburan keluar dari aula. Prasetyo segera menggandeng tangan Intan dan menariknya keluar dari aula. Sebuah rudal panjang tiba-tiba saja menembus atap aula dan meledakkan panggung. Ledakan besar itu membuat Prasetyo dan Intan terhempas dan jatuh. Namun mereka kembali bangkit dan berlari keluar dari aula.

"Prasetyo, tunggu! Icha terjebak di sana, bantu aku." Revi tiba-tiba berlari mendekati Prasetyo dan Intan yang berlari keluar.
"Dimana? Kita tidak boleh terus berada disini!" Prasetyo dan Intan terus saja berlari.
"Aku mohon, kita tidak bisa meninggalkan Icha. Dia ada di kamar mandi atas." Revi mencoba menarik lengan Prasetyo, namun Prasetyo bersikeras tak mau kembali.
"Jika kita ke atas, tidak ada kesempatan lagi Rev !" Prasetyo menampik tangan Revi. Revi hanya terdiam dan tiba-tiba saja ia berlari menerobos asap dan debu menuju tangga utama aula.
"Revi, apa yang kamu lakukan?!" Prasetyo berusaha mencegah Revi, tapi ia tak sempat menggapai tangan Revi yang dalam sekejap hilang ditelan debu dan kepulan asap. Suara dentuman kembali terdengar, teriakan histeris bersahutan memekakkan telinga. Prasetyo dan Intan telah berada di luar aula. Intan mencoba menelpon rumah, tapi jaringan telepon rupanya telah terputus. Prasetyo memandang lurus menerawang tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Bangunan-bangunan yang tinggi menjulang dipenuhi asap hitam. Beberapa diantaranya mulai runtuh. Pesawat tempur silih berganti melintas di atas kepala mereka. Rudal dan tembakan laser tampak keluar dari pesawat-pesawat itu. Suasana begitu porak poranda. Sebuah ledakan hebat dari belakang Prasetyo dan Intan mengagetkan lamunan mereka. Mereka kembali terlempar dan jatuh beberapa meter dari tempat mereka berdiri sebelumnya. Prasetyo tak dapat mempercayai apa yang ia lihat saat terbangun. Aula yang sebelumnya ia gunakan wisuda sudah luluh lantak. Aula itu perlahan runtuh meninggalkan puing dan kepulan asap hitam pekat. Prasetyo meneriakkan nama Revi sambil menitikkan air mata. Tubuhnya kembali jatuh bertumpu pada lututnya. Kepalanya tertunduk tanpa harapan. Melihat itu Intan hanya terdiam, ia tak tahu harus berbuat apa. Prasetyo mulai terisak, namun tiba-tiba Revi datang menepuk pundaknya.


"Kawan, aku di sini." Revi sudah berdiri di sebelah Prasetyo, matanya tampak sembab dan bajunya benar-benar lusuh.
"Revi? kamu baik-baik saja?" Prasetyo berdiri, matanya berbinar melihat sahabat baiknya itu baik-baik saja.
"Icha dimana?" Intan tiba-tiba bertanya pada Revi. Namun ia langsung mengerti saat melihat Revi mulai menitikkan air mata. Prasetyo lalu merangkul sahabatnya itu. Namun Revi mendorongnya dan berlari meninggalkan Prasetyo dan Intan. Melihat itu, Prasetyo dan Intan bergegas mengejar Revi. Dari kejauhan, Prasetyo melihat Revi ditangkap oleh tentara-tentara yang turun dari truk tentara. Revi tampak berontak namun tentara-tentara itu tetap saja berhasil memasukkannya ke dalam truk tentara. Prasetyo mempercepat larinya, Intan mengikuti di belakangnya.

"Hei apa-apaan ini? Lepaskan Revi!" Prasetyo mendekati para tentara itu.
"Kamu juga ikut kami!" Salah satu tentara itu kemudian menggenggam lengan Prasetyo dan memasukkannya ke dalam truk juga.
"Prasetyo! jangan pergi!" Intan berteriak saat truk itu melaju meninggalkan tempat ia berdiri. Intan terdiam menatap truk yang semakin hilang diantara asap hitam. Ia tak kuasa menahan air matanya.
"Mengapa ini harus terjadi..." Intan berlutut di tanah, ia menangis. Gambaran-gambaran masa-masa indah saat ia dan Prasetyo bersama saling bergantian melintas di pikirannya. Membutnya semakin tak kuasa membendung air mata yang keluar dari matanya.

Di dalam truk tentara, Revi dan Prasetyo saling diam. Di dalam situ juga terdapat pemuda-pemuda yang rupanya bernasib sama dengan mereka. Truk tentara berwarna hijau itu melintas menembus rongsokan mobil yang terbakar dan puing-puing bangunan. empat roda depan dan empat roda belakang yang besar dan kuat membuat truk ini dapat melaju seperti di jalan raya. Truk terus melaju menuju kamp militer di daerah Sedati, Bandara Internasional Juanda. Sesampai di kamp militer tersebut, Prasetyo, Revi, dan pemuda-pemuda lainnya digiring menuju suatu ruangan bawah tanah yang cukup luas. Di sana mereka di briefing untuk menjadi pasukan pengaman Bandara Internasional Juanda yang menjadi pusat angkatan udara darurat di Surabaya.

"Mengapa tidak para tentara yang melakukan ini? Mengapa harus kami?" Salah satu pemuda berbaju kotak-kotak merah hitam bertanya pada seorang tentara yang melakukan briefing pada mereka.
"Pertanyaanmu bodoh nak, untuk pemuda seusiamu. Negara kita sedang dalam keadaan genting dan kau sempat-sempatnya bertanya seperti itu?" Tentara yang diketahui bernama Marsekal Pertama Imam Suwito itu menatap pemuda itu dengan tatapan tajam. Prasetyo menyadari hal ini, keadaan saat ini benar-benar genting. Hingga semua warga negara yang mampu harus berjuang membela tanah air ini. Briefing dilanjutkan dengan ditampilkannya artikel-artikel yang tidak pernah diekspose ke media. Artikel-artikel yang menunjukkan jika perang ini sudah diprediksi akan terjadi sejak lama. Mulai dari artikel tentang krisis energi di Indonesia, perebutan hak pengelolaan tambang dan pengeboran minyak yang semakin langka, hingga sedikitnya rasa nasionalisme yang ada dalam hati para pemuda dan remaja di Indonesia akhir-akhir ini. Mereka lebih menyukai budaya dari luar. Semakin rumit saja, Prasetyo sempat menyalahkan pendidikan. Sempat juga menyalahkan perkembangan teknologi, menyalahkan bebasnya penggunaan media. Ia semakin bingung sebenarnya siapa yang salah.

Hari berganti hari, bulan berganti bulan. Prasetyo dan Revi secara kebetulan ditugaskan di dalam bunker yang sama pada bulan ketiga semenjak peperangan dimulai. Sebelumnya mereka selalu ditugaskan di pos atau bunker yang berbeda. Satu bulan akan mereka lalui di bungker ini. Hingga pada suatu malam yang dingin dan hening. Tidak ada suara ledakan dan letupan seperti apa yang selama ini selalu menghiasi siang dan malam. Prasetyo berjalan menuju bagian terluar bunker untuk menghirup udara. Dari kejauhan, ia melihat Revi sedang duduk termenung berjaga di pintu Bunker.

"Hei, Revi ! Apa kamu mengantuk?" Prasetyo berjalan mendekati Revi .
"Yah, mengantuk atau tidak aku tetap harus berjaga di sini kan." Revi menjawab sambil menghela nafas yang terdengar berat.
"Kau tahu, aku merindukan saat-saat dimana perdamaian ramai diserukan." Prasetyo kini duduk di samping kanan Revi, senapan panjang hitam tampak mengkilat di tangan kanannya.
"Itu yang kita dengar dari orang tua kita, kita bahkan tidak pernah tau itu benar-benar terjadi atau tidak kan?" Revi melirik Prasetyo dan kembali menghela nafas. Raut keputus asaan tampak di wajah Revi.
"Hei hei hei, ada apa denganmu. Bagaiman jika kita membicarakan rencana kedepan kita?" Prasetyo tampak menggebu-nggebu. Namun Revi rupanya tak bersemangat sama sekali. Dagunya masih saja berpangku di tangan kirinya.
"Baiklah, hanya ini yang bisa kita lakukan ya?" Revi kini memandang wajah Prasetyo dengan tatapan tanpa harapan.
"Yah, memang kita sudah membahas ini berkali-kali ya, dan mungkin kamu tau rencanaku apa..."
"Rencanamu adalah menemui Intan dan menikah dengannya, membangun keluarga yang harmonis dan hidup di tempat terpencil jauh dari ingar bingar kota." Revi tiba-tiba saja menyela kata-kata Prasetyo seakan ia sudah benar-benar hafal dengan apa yang akan dikatakan sahabatnya itu.
"Wow, aku tidak menyangka kau akan mengatakan jawabanku lagi. Hahahaha." Prasetyo tertawa lepas seakan tidak terjadi apa-apa di dunia ini.
"Hei, kita berada di sebuah peperangan dan kamu masih bisa tertawa seperti itu." Revi kini mulai tersenyum

Tiba-tiba sebuah kilatan merah menembus lengan kanan Revi. Revi berteriak dan mengerang kesakitan, ia beranjak berdiri dan menyalakan alarm di dekatnya. Alarm berbunyi dengan nyaring menembus dinginnya malam, membangunkan para tentara yang sedang terlelap. Prasetyo dengan cekatan lalu berdiri membopong Revi yang terus memgangi lengan kanannya. Para Tentara mulai tampak keluar dari bilik-bilik bungker membawa senapan hitam dan rompi hijau dengan bendera merah putih di dada kanan mereka. Ledakan dan letupan mulai terdengar membelah riuhnya derap kaki para tentara yang dengan sigap berlari keluar bungker. Kilatan cahaya tampak bersahut-sahutan di luar sana. Prasetyo membopong Revi dengan cepat menyusuri lorong yang hanya diterangi oleh lampu temaram. Asap tipis tampak keluar dari lubang bekas tembakan yang ada di lengan kanan revi. Setelah beberapa saat sampailah mereka di depan sebuah pintu di bawah tanah. Prasetyo menempelkan jari telunjuknya di atas sensor pintu itu dan pintu itupun bergeser terbuka ke kiri.

“Masuklah ke dalam, di sana kau akan aman.” Prasetyo mendorong Revi masuk ke ruangan bawah tanah untuk evakuasi itu.
“Kau mau kemana? Jangan pergi.” Revi memegangi lengan Prasetyo saat tau sahabatnya itu akan beranjak kembali ke arah peperangan.
“Aku harus membantu mereka Rev, demi negara ini. Kami harus segera mengakhiri perang ini.” Prasetyo tampak berapi-api.
“Tolong, tidak ada lagi seorang teman di sampingku. Tidak ada lagi seorang yang spesial di hidupku selain kamu. Hanya kamu satu-satunya orang yang istimewa setelah kematian Icha.” Wajah Revi menyiratkan ketakutan dan kesedihan yang tak bisa digambarkan.
“Icha belum mati Rev, kita hanya kehilangan kontak dengannya. Begitupula dengan Intan!” Prasetyo mencoba menenangkan Revi.



“Apa kamu juga yakin Intan masih hidup? Lihat apa yang terjadi hari ini.” Revi menatap Prasetyo dengan tatapan mata yang tajam. Kedua pemuda itu saling berhadapan seperti dua kubu yang akan saling serang. Prasetyo kemudian kembali membopong Revi masuk ke dalam ruang evakuasi rahasia itu dan menutup pintunya.

"Tenanglah, setelah ini perang pasti akan berakhir. Aku yakin para pemuda sudah sadar akan pentingnya rasa cinta tanah air." Prasetyo membuka percakapan.
"Sudah terlambat jika rasa itu baru tumbuh baru-baru ini." Revi tersenyum, senyum yang tak pernah ia tunjukkan sejak perang meletus. Tiba-tiba lampu ruangan itu berkedip dan tak lama kemudian mati. Keadaan menjadi senyap kembali. Tanah yang mereka pijak bergetar hebat sebelum akhirnya terdengar ledakan yang sangat keras. Sebuah satelit rupanya jatuh menghantam bunker tempat mereka berada.

Apakah kita harus menunggu semuanya berakhir?
>>full story<<



0 komentar:

About Me

Powered by Blogger.

vitch-grafi reader

Who was here?

Flag Counter