Tuesday 9 April 2013

Apa yang Tersisa ? Part-1



Apa Yang Tersisa?

Perang Dunia ke-3 dimulai. Setiap negara saling serang dan saling menguasai. Semboyan perdamaian seakan hilang ditelan gelapnya nafsu akan kekuasaan. Perebutan energi dan logam mulia menjadi bahan pembicaraan yang tidak pernah luput dari media massa. Krisis energi yang menghantam dataran eropa dan amerika mengakibatkan pengerukan besar-besaran di berbagai negara oleh perusahaan mereka yang berinvestasi di sana. Namun mereka saling sikut hingga meletuslah perang yang paling ditakuti umat manusia yang kini mungkin tak lagi punya rasa takut.





6 Bulan yang lalu . . .



Pada pertengahan 2012 Indonesia mencoba mendekati Irak karena ditakutkan akan terjadi krisis energi yang mengharuskan Indonesia mengimpor minyak.


Ditemukannya sumber minyak baru di Pulau Badik, Sulawesi oleh perusahaan swasta yang kabarnya dapat melebihi potensi minyak Brunei.


Pengeboran minyak di Indonesia didominasi oleh negara-negara seperti Amerika, Inggris, Jepang, dan Australia


Pada tahun 2013 mulai dilakukan pengeboran minyak di Pulau Badik. Ekonomi Indonesia berkembang pesat pada saat itu. Pembangunan mulai terjadi secara signifikan dan membuat Indonesia secara mengejutkan masuk ke jajaran elit negara penghasil emas hitam pada tahun 2015.


Hutan di Sulawesi Utara benar-benar habis disebabkan oleh migrasi besar-besaran ke Sulawesi. Namun kabar baik datang dari Jawa Barat, Sumatra, dan Kalimantan yang secara mengejutkan berhasil melestarikan hutan mereka. Hilangnya hutan Sulawesi yang dikhawatirkan akan merusak iklim global kini dapat sedikit tertutupi.


Kekacauan mulai terjadi di tahun 2025 saat tambang emas di Gunung Botak, Pulau Buru diserang oleh orang-orang tak dikenal yang mengakibatkan kolapsnya perusahaan lokal tersebut.


Para investor dari luar negeri mulai berdatangan untuk menawarkan diri mengelola tambang emas Gunung Botak. Akhirnya pengelolaan tambang jatuh ke tangan investor yang diketahui berasal dari Australia.


Pada tahun 2030 Secara mengejutkan terjadi kerusakan mesin besar-besaran di pengeboran minyak Pulau Badik. Minimnya teknisi dalam negeri dan tidak adanya ahli dari orang dalam, para teknisi dan ahli dari luar negeripun berdatangan menandatangani kontrak kerja di sana. Pengeboran minyak kembali berjalan.


September 2031, pemegang saham terbesar pengeboran minyak Pulau Badik tewas saat pesawat pribadinya jatuh di selat sunda saat dalam perjalanan dari Sulawesi ke Surabaya. Setelah diadakan penyelidikan lebih lanjut, jatuhnya pesawat disebabkan oleh kesalahan pilot dalam melakukan manuver. Kepemilikan jatuh ke tangan investor china pada tahun 2032.


Demo besar-besaran di seluruh tanah air mengecam tindakan pemerintah membiarkan investor asing menguasai sumber daya alam Indonesia. Stabilitas ekonomi dan politik di Indonesia kembali terombang-ambing. Di tahun 2033 sampai 2043 secara berkala Indonesia mulai kolaps dan mulai kembali dipandang sebelah mata. Sumber daya alam di Indonesia yang mulai menipis semakin menambah miris keadaan Indonesia.


Sebuah penemuan luar biasa dari Prof. Dio membuat nama Indonesia kembali naik pada tahun 2044. Ia menciptakan sebuah alat yang ia namakan dengan sirkuit tak hingga. Sirkuit tak hingga ini mampu menyimpan energi dari listrik bebas yang ada di sekitar kita. Prof. Dio dengan Atman Corporationnya menambah manis peringatan kemerdekaan Indonesia yang ke-100 saat itu. Pengembangan yang menghabiskan dana ratusan miliar seakan terbayar dengan diluncurkannya Kotak Gundala pada 17 Agustus 2045. Ini merupakan pengembangan luar biasa dari Sirkuit tak hingga yang kini mampu menyimpan energi delapan juta volt hanya dalam kotak berukuran satu meter persegi.


"Demikian presentasi tentang perkembangan dan konflik energi yang ada di Indonesia, terimakasih." Prasetyo menutup presentasinya yang segera disambut meriah oleh teman-teman sekelasnya. Jam menunjukkan pukul 16.30. Itu berarti waktu pulang sekolah telah tiba. Para murid segera beranjak dari tempat duduk mereka setelah Pak Noor mengakhiri kelas. Kelas sudah mulai sepi, namun Prasetyo masih terlihat asik membaca buku catatan kecil sembari membereskan bahan-bahan presentasinya tadi. Laser penunjuk, proyektor mini, dan tablet pc miliknya satu persatu mulai masuk kembali ke dalam tasnya. Kelas saat ini benar-benar sepi, hanya Prasetyo seorang diri yang masih berada di tempat duduknya. Suasana terasa hening beberapa saat hingga seorang wanita berambut hitam sebahu mengetuk pintu kelas Prasetyo. Wajah manisnya tampak sumringah dari balik kacamatanya yang berkilau. Melihat wanita itu sudah menunggu di depan pintu kelasnya, Prasetyo segera bangkit dari tempat duduknya menghampiri wanita itu.




"Intan, lama sekali." Prasetyo memukul pelan pundak wanita di depannya.

"Maaf, tadi ada sedikit masalah dengan tasku." Intan menjawab sambil menunjuk tali tasnya yang putus.

"Oh, aku mengerti. Baiklah ayo segera berangkat sebelum hari mulai gelap." Prasetyo lalu menggandeng tangan Intan dan menariknya menuju luar sekolah. Mereka berdua berjalan cepat menuju tempat parkir sekolah. Tampak di sana sebuah sepeda motor biru yang masih terlihat baru terparkir di sana. Intan memandang wajah Prasetyo yang bersemangat penuh keheranan.


"Waw, itu sepeda motor kamu?" Intan bertanya pada Prasetyo saat mereka tiba di depan sepeda motor biru itu.

"Tentu saja, bagaimana? keren bukan? Aku membelinya dengan uang tabunganku sejak SMP." Prasetyo menjawab pertanyaan Intan dengan semangat. Mereka berdua lalu naik ke sepeda motor berbahan bakar bensin tersebut dan segera meluncur meninggalkan area sekolah. Prasetyo mengendarai sepeda barunya itu melewati jalan raya yang tampak lenggang menuju taman kota. Tidak biasanya jalanan begitu lenggang seperti ini. Gedung-gedung menjulang tinggi menghiasi setiap sudut kota. Lampu-lampu mulai menyala menambah indah gemerlap kota Surabaya hari ini. Melewati Jembatan Wonokromo, sebuah kalender dan menara jam digital raksasa tampak menjulang megah dari terminal Joyo Boyo. 11 Januari 2050 pukul 17.20. Begitulah yang tertulis di menara itu. Tak lama kemudian, sampailah mereka di Taman Kota. Mereka menghabiskan waktu bercanda berdua di sana. Taman Kota hari ini terlihat tenang. Tidak ada band yang bermain di panggungnya, tidak ada atraksi-atraksi yang digelar. Hanya ada beberapa pasangan muda-mudi dan pedagang kaki lima yang mengadu nasib. Langit kini telah gelap, Prasetyo dan Intan memutuskan untuk meninggalkan Taman Kota dan beranjak pulang. Jam sudah menunjukkan pukul 21.00 dan mereka dengan santai berkendara menyusuri jalanan kota Surabaya. Namun saat mereka lewat di depan Rumah Sakit Angkatan Laut, terjadilah sebuah insiden yang benar-benar tak terduga. Mereka dicegat oleh orang-orang berpakaian serba hitam dan mengenakan ikat kepala berwarna putih. Prasetyo mengenali mereka di media massa dengan sebutan Kelompok Anti Energi Garis Keras. Prasetyo berniat untuk untuk memutar balik sepeda motornya, namun rupanya sudah terlambat. Sepeda motor Prasetyo tertangkap oleh tali penjerat otomatis hingga Prasetyo dan Intan terjatuh dari sepeda motor. Tidak hanya Prasetyo, beberapa pengendara sepeda motor berbahan bensin lainnya juga tertangkap oleh mereka. Kelompok dengan pakaian serba hitam itu kemudian menyeret sepeda motor-sepeda motor tersebut dan meledakkannya saat itu juga. Prasetyo, Intan dan korban lainnya hanya terpaku di tempat mereka menatap kendaraan mereka terbakar dalam api kebiruan. Seperti biasa, polisi terlambat datang ke lokasi kejadian. Kelompok itu sudah pergi meninggalkan lokasi yang kini mulai dikerumuni oleh warga. Intan menangis, wajahnya memerah. Ia menyandarkan kepalanya di dada Prasetyo yang bidang sembari memeluk lelaki itu.




Dengan cepat berita ini menyebar lewat media massa dan forum-forum internet. Berbagai kecaman dan dukungan silih berganti memenuhi media yang beredar. Kecaman karena melakukan vandalisme yang terkesan berlebihan. Dukungan karena mereka mencoba menghentikan pemakaian bahan bakar minyak yang mulai menipis. Prasetyo hanya menghela nafas panjang membaca berita-berita tersebut. Pikirannya masih kacau dipenuhi oleh amarah dan penyesalan. Tangannya berulang kali menjambak rambutnya sendiri. Ia menatap layar tabletnya sekali lagi dan memainkan sebuah lagu dari grup band legendaris asal Inggris, MUSE. Sebuah proyeksi kecil muncul dari layar tabletnya membentuk tampilan tiga dimensi dari grup band tersebut sedang memainkan alat musik masing-masing.



Once I hope, to seek the new unknown

This planet overrun, with nothing left for you or for me

Don't give in, we can walk through the field and feeling nature grow

But when the land is owned, there's none left for you or for me

Who will win, cause i concede



Free me, free me, free me from this world

I don't belong here, it was a mistake imprisoning our soul

Can you free me? Free me from this world?



Begitulah lirik lagu tersebut. Prasetyo kembali menghela nafas panjang mendengar lagu itu. Lagu berjudul Explorers ini dirilis pada tahun 2012. Bertahun-tahun lalu rupanya sudah banyak yang memprediksi keadaan seperti hari ini akan terjadi. Tidak ada tempat bagi orang yang tidak tahu apa-apa. Merasa terasing dengan dunianya sendiri. Dunia seperti milik para adidaya yang selalu ingin menguasai dunia. Prasetyo berpikir jika saja para pelajar di Indonesia ini sejak dulu ditanamkan pola pikir yang maju. Diajarkan pembelajaran-pembelajaran yang membangun bangsa sesuai minat mereka. Dibiarkan berkembang tanpa kekangan pendidikan. Mungkin Indonesia akan memiliki deretan orang-orang cerdas yang dapat membangun negara ini. Negara ini tidak akan bergantung dari campur tangan pihak asing. Prasetyo mematikan tablet miliknya setelah lagu itu selesai lalu merebahkan diri di tempat tidurnya. Ia memandangi langit-langit kamarnya membayangkan ia sedang melihat bintang-bintang. Ia selalu teringat saat-saat ia diajak kemah ke Gunung Arjuna oleh teman-temannya. Saat itu langit begitu indah dipenuhi bintang. Pemandangan yang tidak bisa ia dapatkan di kota karena polusi cahaya. Prasetyo tersenyum tipis lalu memiringkan tubuhnya. Matanya mulai terpejam dan kini ia sudah terbang ke alam mimpi.



Bersambung . . .

0 komentar:

About Me

Powered by Blogger.

vitch-grafi reader

Who was here?

Flag Counter